Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia


Zamzam Muhammad Fuad








Tajuk Rahasia: Nasionalisme dan Perputaran



Penulis: Georg McTurnan Kahin


Penerbit: Peguyuban Bambu






















Gubahan ini berusaha untuk mereview buku berjudul nasionalisme dan arus karya Georg Kahin. Buku ini sangat penting artinya bagi jalan wacana garis haluan dan praktik kebijakan di Indonesia. Sebagaimana ditulis oleh Simon Philpott,


Nasionalisme dan Rotasi Indonesia
merupakan salah satu wacana yang membentuk Indonesia. Tantangan utama Kahin intern buku itu adalah menjawab tanya tentang bagaimana kemerdekaan Indonesia terwujud. Siapa pemain-pemainnya. Apa wacana nan saling bersaing. Dinamika sosial segala apa saja yang sedang terjadi. Di tangan Kahin, ide, orang, kejadian, ubah memuati suatu sama lain, yang akhirnya membentuk barang apa yang dinamakan dengan sejarah.







Sekiranya distribusi lahir dari reklamasi ketidakpuasan, maka demikianlah kemerdekaan Indonesia. Seperti mana Marx yang menubuwahkan revoulusi proletar yang akan terjadi seiring dengan memuncaknya akumulasi teratu yang dilakukan oleh kaum borjuis. Selama dijajah VOC dan Belanda (kompeni), masyarakat Indonesia mengalami proses pemiskinan massal, dan proses diferensiasi kekayaan berdasarkan darah keturunan.

Sejak awal kedatangannya di Nusantara, niat kompeni adalah menguasai perdagangan hasil bum. Pada sediakala adalah rempah-rempah. Kemudian menyusul produk perkebunan bukan dan pertanian. Bakal orang-orang Eropa, komoditas tersebut suntuk signifikan. Bahkan menurut data yang didapat dari pameran “Jalur Rempah” di Museum Kebangsaan 2015 lalu, dagangan rempah-rempah harganya kontak puluhan kali lipat lebih banyak daripada emas. Maka kombinasi muncul diktum, barangsiapa menguasai rempah-rempah, maka beliau akan menguasai dunia. Menguasai berfaedah harus mampu mengontrol dan mengorganisasi produksi dan aliran. Dalam gambar berpikir sebagai halnya inilah kompeni menjalankan praktik pemanfaatan ekonominya.


Kompeni mengajak para raja-raja tempatan kerjakan seimbang-sepadan memaksa petani menanam produk pertanian tertentu dengan kuantitas tertentu. Petani juga dibebani berbagai macam macam pajak. Keuntungan yang tak seberapa, kebutuhan hidup yang semakin meningkat, ditambah dengan fiskal yang semakin membebani membuat pekebun kasmaran hutang. Para petani berhutang dengan rente tinggi sreg orang Cina dan penguasa lokal, yang pengembalian hutangnya dapat dibayar dengan hasil pertanian (sistem ijon).
Dalam kondisi seperti ini, berkarya dan berhutang menjadi tak ada bedanya. Sebab, bekerja adalah kerjakan menambal hutang. Semenjana berhutang yaitu untuk modal bekerja.

N domestik struktur kekuasaan kolonial, pemerintah kompeni menempati struktur minimum atas. Namun buat hadang gejala psiko sosial xenophobia, melawan puas yang asing, privat benak pribumi ki teraniaya, kompeni mengecer sebagian kecil kekuasaannya kepada para penguasa lokal. Para penguasa ini menjadi kaki tangan kompeni dan menjadikannya perumpamaan aktor yang bersentuhan berbarengan dengan suku bangsa pribumi tertindas n domestik sistem eksploitasi kolonial kompeni. Dipimpin maka dari itu orang asing tentu berbeda dengan dipimpin orang sendiri. Lakukan menjalankan sistem ini, kompeni mengajak para baginda lokal, adik-adik sri paduka, dan kerabat raja sebagai pendamping asisten. Maka dari itu kompeni mereka diberi banyak kelebihan, sama dengan gaji, perlindungan keamanan dan pewarisan jabatan pada anak asuh kerabatnya sejauh sapta turunan.

Dalam kehidupan kolonial, kedamaian ekonomi mengikuti aliran kekuasaan kompeni. Semakin banyak seseorang mendapatkan aliran kekuasaan kompeni, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan uang lelah. Di Indonesia waktu kolonial, kekuasaan menentukan kedamaian, kekuasaan menentukan ekonomi, hamba allah berharta, takdirnya ia berwenang. Dengan pembukaan lain, ia kaya sekadar saat ia mampu mendapatkan kuasa, dan memanfaatkannya bikin meraup kekayaan. Logika Marx tersuling-balik di sini. Internal ilmu mantik Marx, Capital= Money-Comodity-Money. Hanya kenyataannya, di Indonesia tahun kolonial, bukan uang yang hadir duluan menciptaan kalung kapital. Belaka kekuasaan yang menentukan komisi.
Money doesn’t create money, power create money. Komisi bukan menciptakan komisi, melainkan kuasa yang menciptakan uang jasa. Karena logika Marx tentang kapital tidak berlaku, dengan introduksi lain, kapitalisme (sekaligus budaya kapitalisme tentu saja) lagi tidak berlaku di Indonesia periode kolonial.

Dibandingkan dengan seluruh jumlah rakyat pribumi, hanya sedikit saja dari mereka yang mendapatkan satuan kuasa dari kompeni. Sehingga, kemelaratan, ketidaksejahteraan unjuk di mana-mana. Mereka sulit angot secara ekonomi karena akses menuju kekuasaan dahulu cacat, dan itupun sudah lalu diisi oleh para adik dan kerabat raja-sunan, dan pertalian keluarga-keturunan mereka. Mereka yang asian akhirnya hanya berlambak menjadi buruh menceracam yang miskin tujuh insan, karena uang penghasilannya tdak mampu dijadikan produk cak bagi menghasilkan uang (kapitalisme tidak bertindak di sini), dan pun karena mereka sudah lalu terpesona hutang berbunga tataran. Maka, bukannya logika kapitalisme yang berlaku di sini, melainkan logika subsistensi: yaitu
money for food, food for survive
–uang untuk bersantap, makan lakukan hidup–.

Himpitan hidup nan dirasakan oleh awam pribumi menimbulkan gelombang ketidakpuasan. Akan tetapi enggak semua ketidakpuasan berujung sreg gerakan protes. Belanda menggunakan orang pribumi bagi meredam konflik. Sebaliknya, hidup perlawanan semakin menyala ketika kaum pribumi dipimpin sambil maka itu kompeni. Suku bangsa pribumi tertindas agaknya percaya bahwa para ketua pribuminya (para pangeran, priyayi,
volksraad
–DPR pribumi) pasti melindungi mereka. Ketertindasan telah menjadi kondisi objektif lakukan terjadinya penangkisan. Tapi itu urung terjadi karena belum cak semau nan bos yang mengawali. Ibarat kondominium sudah lalu terguyur minyak. Seandainya tidak api, ya tidak akan terjadi apa-apa. Tapi seandainya suka-suka api menyambarnya, akan cak semau kebakaran maha dahsyat.

Namun bagaimana menciptakan api? Persentuhan kaum pribumi dengan pustaka islamisme menentang kolonialisme barat yang sedang berkembang di timur paruh menjadi keseleo satu penyebab. Wacana sosialisme dan nasionalisme nan berkembang di Barat, yang dipelajari maka dari itu orang-turunan pribumi yang berkesempatan riset di sana pun berkontribusi besar. Ide-ide pemantik jago merah perlawanan itu berputar lewat bahasa melayu pasar, bahasa kaum pribumi, kaum ki teraniaya, yang digunakan intern komunikasi mereka sehari-hari. Selain itu, kronologi teknologi percetakan mendiseminasi percik api perlawanan itu ke seantero nusantara. Apakah itu doang sudah cukup menciptakan para pejabat, yang siap membakar konglomerat melalap para kompeni itu? Kurang suatu: organisasi. Internal organisasi inilah akan unjuk para pemimpin-komandan.

Sebagai
homo socius, manusia memiliki kecenderungan bikin berkawanan. Pada awal abad XX, kesengsaraan merupakan bahasa yang mengikat kaum pribumi bikin berorganisasi. Dalam kerubungan-kelompok itulah kaum pribumi membualkan penderitaannya. Dan siapa pula nan tahan dengan derita? Maka mereka berusaha pula mencerna apa penderitaan itu, mengapa penderitaan itu ada, bagaimana mengatasinya. Tepat di sinilah ideologi dibutuhkan. Sebab, ideologi memuat pernyataan tentang apa yang harus dipermasalahkan, mengapa permasalahan itu boleh unjuk, bagaimana mengamankan permasalahan itu. Sepanjang awal abad XX, ada tiga ideologi yang bisa dipilih: Islamisme, Sosialis-Komunis, dan Nasionalisme. Namun kenyataannya jarang sekali ada organisasi dan para aktivisnya patuh sreg satu kutub ekstrim.


Tirtoadisoerjo merupakan salat suatu pribumi yang pertama kali menunggangi Selam sebagai atma sekaligus kendaraam n garis haluan melawan kompeni. Tetapi di tangan HOS Tjokroaminoto Islam

diracik

menjadi kekuatan nan sangat besar intern menandingi keefektifan kompeni dan saudagar

-saudagar

Cina yang licik.


Sarekat Bisnis Islam (SDI) disulap oleh HOS Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (Si). Ini enggak sekadar sekedar perubahan nama, melainkan perubahan kesadaran dan perilaku organisasi. S
DI

semula hanyalah universitas para pengelana yang diikat oleh identitas gabungan muslim untuk mengembalikan kedigdayaan kulak kompeni dan pedagang Cina. Sekalipun tidak secara eksplisit mengikrarkan diri perumpamaan partai, namun SDI tunak cuma menggudangkan potensi menjadi organisasi strategi. Sebab sejauh suatu organisasi mempunyai pamrih, di sana pasti terserah politik, karena politik menyangsang satu cara hingga ke maksud.

Sehingga, jika suatu

organisasi semakin berusaha membuat tujuannya, maka beliau akan menjadi semakin politis.

Persis k
etika sesudah-sudahnya politis inilah SDI berubah menjadi SI, tepat di masa 1912. SI memercayai bahwa kekuasaan yang berada di tangan kompeni merupakan ujung asal dari barang apa kebangkrutan ekonomi rakyat pribumi. Maka cara membalikkan keadaan adalah merebut supremsi tersebut. Merebut kekuasaan berbunga tangan kompeni dan meribakan otoritas tersebut kepada rakyat pribumi itulah nan

nanti menjelma menjadi pekik merdeka

.



Tentatif Si membangkitkan prestise pribumi dengan pustaka keislaman, di masa bersamaan, wacana komunisme dan semangat kebangsaan yang kian sekuler kembali masuk melintasi kaum terbimbing pribumi yang membujur kesempatan belajar. Di semula sekali abad 20, kaum pribumi bangsawan diperbolehkan untuk belajar di sekolah-sekolah tiruan kompeni. Kalau istilah Gramsci bisa digunakan di sini, ini adalah operasi pemerintah kompeni untuk menghegemoni kaum pribumi. Jika strategi tersebut berbuah, maka pemerintah kompeni tidak terlazim menggunakan cara-cara kekerasan untuk menundukkan suku bangsa pribumi. Hanya, di antara elite kaum pribumi didikan kompeni tersebut,

tidak semua menurut
. Wasilah temperatur dan murid meniscayakan pembangkangan. Sebagai dalam cerita pewayangan dengan lakon Bisma yang melawan gurunya, Parasurama.



Contohnya adalah Soewardi Soerjaningrat, koteng pribumi yang belajar di sekolah kompeni. Sekalipun didikan kompeni, puas 1913 sira malah membuat kata sandang berjudul “als ik eens nederlander was” (andai aku orang Belanda) yang mengritik kebijakan pemerintah kompeni. Sekalipun namun kata sandang, dampaknya lewat luar biasa. Seumpama sendiri nan lontar istana dengan sebuah kerikil kecil di tangannya. Doang karena tepat mengenai jendela istana, bising pecahan kaca ventilasi itu takhlik seluruh penghuni apartemen menjadi terjaga. Prang! Soewardi mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Organisasi ini berkomitmen bikin memberikan bantuan pendidikan, kesehatan, dan sambung tangan sosial lainnya kepada masyarakat pribumi.





Ada juga sejumlah cucu adam pribumi yang berpeluang sekolah di kewedanan Belanda. Referensi
chauvinisme yang sedang menjadi trend plong detik itu menyalakan kesadaran para pribumi
. Kerumahtanggaan wacana nasionalisme, istilah

“kaya-miskin” melekat dalam

pustaka

“insan luar-basyar dalam”, “makhluk putih-orang

bercelup
”, “orang eropa-orang asia”, “penjajah-terjajah”, “asing-pribumi”, dan risikonya “Belanda-Indonesia”.

Dengan begitu, koteng yang terpapar wacana nasionalisme akan mengenali, bangsa apakah dirinya. N domestik kombinasi antar bangsa itu, mereka akan mengejar dikategori manakah bangsanya berada. berpunya? Miskin? Orang asing? Sosok dalam? Putih? Berwarna? Penjajah? Terjajah? dst.


Maka puas awal abad XX,

lantaran melahap referensi chauvinisme, para pribumi nan belajar di dalam atau di luar kewedanan menggunakan

istilah


Indonesia


bukan juga hanya istilah antropologi atau budaya belaka, namun pula politik. Indonesia lain hanya provinsi yang

terletak di peta, antara asia dan australia. Lebih dari itu, Indonesia adalah

negeri yang dijajah Belanda, nan miskin

akibat

penjajahan Belanda. Tepat di situ, mengaku pesuluh Indonesia berjasa mengaku pelajar dari lahir di kawasan yang dijajah Belanda. Kalau area ajang lahir

disebut dengan

ibu pertiwi

,


m
aka dengan kata lain, para pelajar itu adalah mereka yang semenjana menyaksikan ibu mereka madya diperkosa

dengan virulen


maka dari itu kompeni.

Maka dengan kemarahan yang bergelora, Soekarno mendirikan Organisasi politik Nasionalis Indonesia. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan, para petatar pribumi yang sedang berlatih di Belanda (Mohammad Hatta bersama Sjahrir, Nazir Pamoentjak, dan kawan-kawan lainnya) yang teroganisir kerumahtanggaan Perhimpoenan Indonesia melantamkan Indonesia Merdeka. Pekikkan ini begitu paraunya bakal kompeni, karena diteriakkan di lahan penjajah, persis di cuping telinga kompeni.



Bahkan teriakan kemandirian negara-negara terjajah juga didengar maka itu negeri berhaluan komunis. Dalam mepet-kebersamaan antar negeri berhaluan komunis (komintern) selalu dibahas mengenai kemenangan nasion eropa-kapitalis melintasi kolonialisme. Sebagai penentang kapitalisme, apa nan harus dilakukan komintern? Internal hal ini, menurut McVey, pendapat komintern terbagai menjadi dua, yaitu 1) yang menganggap kolonialisme merupakan janjang sejarah untuk negara koloni berkiblat kapitalisme yang puas gilirannya akan berakhir sreg komunisme; 2) yang menganggap kolonialisme adalah kapitalisme tingkat lanjut yang harus segera dihabisi oleh kekuatan reaksioner agar negara sosialis-komunis dapat segera terpenuhi. Dua pemikiran ini mempengaruhi respon komintern terhadap kolonialisme. Pendukung gagasan purwa akan makin berperangai lunak terhadap kolonialisme. Padahal yang kedua, gagasan Lenin termasuk di sini, menolak kolonialisme sebaik-baiknya.








Ideologi komunisme nan mendasarkan dirinya pada amatan kelas lampau digemari oleh kaum buruh petambak, yang pada saat itu jumlahnya silam banyak. Melintasi analisis kelas bawah suku bangsa buruh penanam mengerti mengapa mereka miskin, dan segala yang harus dilakukan lakukan mengatasi itu. Ideologi ini menjadi warna spesial di dalam badan Sang. Semaoen dan Alimin adalah
proponent figure
pentolan komunisme kerumahtanggaan SI.

Dinamika komunisme n domestik Si juga ditentukan oleh wacana yang berkembang di asing sana. Komintern masih mengusap-usap, apakah khasiat islam bisa dijadikan sekutu untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sebaliknya, kaum muslim modernis timur paruh sekali lagi masih beranggar pena, sejalan dengan kredit-biji selam. Tiadanya jawaban nan absah membuat dikotomi antara islamisme dan komunisme. Jika gagasan satu dengan nan lain sudah tersegmentasi tanpa dapat diperdamaikan, maka pembelahan organisasi tinggal menunggu waktu. Dan terbukti, waktu ini SI compeng menjadi dua, yaitu SI Asli dan SI Merah. Adanya organisasi internal organisasi bukannya hal yang tidak kali. Yang menjadi tidak kali adalah saat organisasi itu memperebutkan otentisitas. Mereka akan saling menelan atau saling menyingkirkan alias ganti memisahkan. Sejarah berputih sedemikian lanjut, setakat akhirnya Sang hanya milik SI Putih. Dan SI Biram merukunkan diri selengkapnya dan membuat organisasi bernama Sarekat Rakyat (SR), yang kemudian perian dengan segala apa dinamikanya berubah menjadi PKI, partai komunis terbesar di Asia setelah Partai Komunis China.

Ide dan gagasan ternyata melampaui organisasi itu koteng. Tidak mudah mengenali apakah sebuah ideologi itu dapat menguasai organisasi semesta-penuhnya. Kalaupun iya, apakah kebijakan puak ataupun perilaku individu merupakan turunan berpokok kehendak ideologi sepenuhnya. Namun cak bagi kompeni, tidak suka-suka gunanya mendikotomikan ideologi itu spontan menakar mana ideologi nan minimum bersahabat dengannya. Sebab, semuanya berpotensi menyulut api kemarahan agregat nan mampu melalap adv amat puri kompeni. Privat otak kompeni, ideologi organisasi agaknya cuma dua: ko dan non-ko (kooperatif dan non-kooperatif). ***

Source: https://zamzammuhammadfuad.blogspot.com/2016/02/review-buku-nasionalisme-dan-revolusi.html

Posted by: bljar.com