Malu Aku Jadi Orang Indonesia




Data Sendi Pusparagam Puisi


Judul :

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia




Penulis :

Taufiq Ismail




Gemblengan : I
I
,

2000 (cet. I. November 1998?)




Penerbit :

Yayasan Indonesia, Jakarta




Lebat :

xvi + 208

halaman (10

2

puisi)




Sampul muka: AdWork!

Vignet: Ipe Ma’aruf


ISBN : 979-
8424-04-2


Introduksi : Dr. Kuntowijoyo




Beberapa seleksian sajak


Taufiq Ismail


dalam


Sipu (Aku) Kaprikornus Makhluk Indonesia








Berdiri






66, Takut






98




Mahasiswa merembah pada dosen


Dosen bersimbah sreg dekan


Dekan seram plong rektor


Rektor takut pada nayaka


Menteri redup pada kepala negara


Presiden merembas puas mahasiswa.



1998


12 Mei, 1998


Mengenang elang Mulya, Hery Hertanto,



Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan

Empat syuhada tiba pada suatu malam, gerimis air mata

tertunda di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke kapling kuburan

dan simaklah itu isak-sedan,

Mereka anak mulai dewasa pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi

karena jemu deformasi, dengarkan saban masa langkah sahabat-

sahabatmu beribu menderu-deru,

Tiket mahasiswa telah disimpan dan tas syarah jebluk dari pundak.

Mestinya kalian makara insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,

Tapi malaikat telah mencatat indeks performa kalian tertinggi di

Trisakti lebih lagi di seluruh negeri, karena kalian berani

menatah alfabet purwa pecah gelombang listrik ini dengan

darah arteri sendiri,

Bangkang putih yang setengah papan ini, merunduk di bawah garang

matahari, tak mampu mengibarkan diri karena kilangangin kincir lama

bersembunyi,

Tapi perluru logam mutakadim kami patahkan dalam wirid bersama, dan

kalian pahlawan ikhlas dari kejijikan, karena jalan masih

jauh dan kita perlukan peta dari tuhan.


1998



Akan halnya Gacok Jam Sembilan Pagi

Beras berbicara kepada saya, bahwa kacang kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi inseminasi, iwak laut, dan lauk daratan, semua kerumahtanggaan hal segar bugar enggak kurang satu apa. Kamu lain menyapa mengenai barang apa yang dihasilkan hutan yang lama terbakar dan saya pangling lagi menanyakannya,

Mesin giling menelponku baru-plonco ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen cip, kimia dasar, seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat selit belit, kereta api, kapal laut an pesawat udara dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia tidak mendongeng tentang orang-orang yang berdampak menggerek lobang-lobang besar di asal lantai bank dan rasanya aku sudah lalu tahu urut-urutan ceritanya,

Aspal bertanya kepada saya apa hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak boncel yang bintang sartan gacok jam sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal, kesenian itu bagian dari kebudayaan, ekonomi putaran semenjak tamadun, sehinggamengacungkan jemari di got jalan sebagaimana saya ini juga bentuk seni, mudahmudahan saya dapat uang seribu perumpamaan joki untuk mendapat ekonomi.”

“Anak bijak, siap gerangan namamu?” pertanyaan saya.

“Ronggowarsito,” jawabnya segera

“Ah, kamu,” kata saya. Dia bersuit-siul.

“Mungkin namamu?”

“Ronggowarsito,” jawabnya pelan. Dia bersiut-siul, lalu mengumam lagu.*)


Jaman Edan


Amenangi jaman edan


Ewuh aya ing pambudi


Melu edan ora tahan


Yen tan melu anglakoni


Boya keduman melik


Kaliren wekasanipun


Dilalah kersaning Halikuljabbar


Begja-begjane kang lali


Luwih begja kang eling lan siap siaga


Zaman Edan


Hidup di zaman gila


Suasana jadi serba runyam


Turut sinting tak resistan


Enggak ikut


Tak kebagian


Lebih lagi boleh siksaan


Begitulah kehendak Allah


Sebahagia-bahagia manusia lupa


Makin bahagia orang sadar dan waspada

Kemudian saya berjalan dengan sahabatku Ronggo mengurus bisnis ke Sudirman Central Business District, menyeberang ke Panin Centre, masuk ke Parkview Apartment, mencari logo di Jakarta Design Centre, sangat Ronggo minum
milk shake
dan aku makan
banana split
di Pondok Indah Mall, memikirkan finansial dunia di Jakarta Stock Exchange Building, makan angin di Buar Sentul Highland, memeriksakan netra di Jakarta Eye Centre, mengejar kontrakan rumah di Luxury California Town Houses, kemudian mandi-bersiram di Lido Lake Resort. Edan.

Kemudian saya bepergian dengan sahabatku Ronggo ke pekuburan di pinggiran kota, suram berkabut suasananya, kambojanya kering-kering jangat dahannya, rumpun bambunya gemersik ditegur angin yang kurang bersemangat mengamalkan tiupannya, aneh aku berpikir dalam-dalam tentang di mana gerangan mahkamah mahkamah saat melihat nisan berarak, suka-suka yang bertulisan R.I.P., cak semau yang berkaligrafi alif-lam-wau-alif-lam-ra, dan kubaca nama
Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, KAMI, Sinar Tujuan, Prioritas, Tempo, penyunting, DeTik. Di mana bulan-bulanan pengadilan perdata, berapa nomor teleponnya dan tolong serah saya nomo faksimilenya? Sinting.

Adv amat saya mengingat
Perburuan, Mastodon dan Burung Kondor, Wasdri, Sam Aspal Eng Tay, Opera Kecoa, Pak Kanjeng, Demi Orang-orang Rangkasbitung, dan demikian pangkat daftar pencekalan, yang penjelasannya sreg satu meja berbunyi A, di meja bukan A-titik berat, di meja berikutnya A-dua aksen. Edan.

Kemudian abuk Galunggung, Kedung Ombo, SDSB, Gamalama, Liwa, Nipah, Timor Timur, Marsinah nan masuk kubur, keluar kubur dan ikut kubur sekali lagi, Palestina, Bosnia, Chechnya yang tiada reda-redanya. Edan.

Memasuki mesin waktu saya berlari bersama sahabatku Ronggo memencilkan angin indra bayu angin ribut yang mengacau suasana, piting dan menggencet semua. Mereka mengejar-ngejar makhluk, melarang trik, merampoki perpustakaan, menimbun dan membakari rahasia, memaksakan ideologi seni, membabat penerbit nonblok dan mengangkut panji tujuan menghalalkan pendirian. Kemudian angin indra bayu reda, orang-anak adam bekerja, tapi suka-suka juga yang mengepas membengkokkan ki kenangan dan bila diluruskan sekali lagi, ini disebut menyamai kehasadan. Edan.

Mas Ronggo, selamat jalan. Engkau melengkapi kendaraan 3-dalam-1. Mas Ronggo, selamat jalan mengais nafkah nan jernih dan tahir …

***

Sehabis melambai Mas Ronggo saya termangu di pekarangan Cikini Raya 73. Setiap kerangka seni memiliki masalah yang tak ronda usai dan selesai. Sinema makin jauh dari cita-cita menjadi pemilik rumah di negeri sendiri, serangan medium televisi telah mengguncang negeri, seni rupa belum punya Galeri Seni Rupa Nasional, pencekalan kambuhan pementasan teater masih terasa, dikotomi tari kawasan dan nasional, musik yang terus mengejar dan mencari, dan sastra nan jalan di tempat. Pendidikan tinggi kesenian tak patah-putus mencoba menemukan bentuknya yang tepat guna. Sekudung potret sesaat teristiadat, tapi lain sepatutnya kita dibelenggu daftar keluhan, karena modal kita, yaitu cita-cita bersama, masih ada.

Syarah kesenian ini tidak menuliskan daya pahit lidah lakukan pelaksanaan praktikal, dia semata-mata merangsang beberapa dahan perasaan dan fikiran lewat rang sajak. Dia menonjolkan akar Indonesia dalam tahun ke-50 usia negeri ini. Dia mengepas mengingatkan bahwa dalam gelombang elektronik besar materialisme, keserakahan dan rasa enggak acuh sreg penderitaan individu di dunia ini, pemberhalaan terhadap apa juga ditolak. Kesenian kita merupakan kesenian yang bermanfaat kerjakan manusia serta lingkungannya privat dataran marcapada, dan berguna maksimum internal garis berdiri lurus condong Nan Maha Kreator Keindahan. Dalam pelaksanaan kesenian seniman tak dapat mengasing duduk mencangkung di sebuah pulau alit, atau berjalan koteng tanpa mengindahkan siapa-kelihatannya. Dia beriman pada susuk kerjasama dan demap menghargainya. Dia memerlukan kebebasan kreatif, dan untuk itu beliau tahu bahwa akan ada probabilitas benturan. Engkau percaya pada hati nuraninya dan yakin sreg kekuatan puji-pujian. Perasaannya karib dan lekat lega orang-manusia malang dan berkekurangan. Seninya yaitu kerjakan mengingatkan.



1995




*) Abad 19, Stanza ketujuh
Serat Kalatida, terjemahan Slamet Sukirnanto


Sipu (Aku) Makara Orang Indonesia


I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga





Ke Wisconsin aku dapat beasiswa





Sembilan belas panca heksa- itulah tahunnya





Aku gembira makara momongan revolusi Indonesia






Negeriku baru heksa- perian terhormat diakui dunia





Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda





Sahabatku selaras, Thomas Stone namanya,





Whitefish Bay kampung asalnya





Kagum dia pada sirkulasi Indonesia






Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya





Jelas Bung Tomo bak pelopor terdahulu





Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya





Dadaku busung jadi anak Indonesia






Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy





Dan mendapat Ph.D. dari Rice University





Anda sudah lalu purnakarya perwira janjang dari U.S. Army





Dahulu dadaku tegap bila aku tegak





Mengapa cangap benar aku merunduk masa ini






II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak





Syariat tak takut, doyong berkerotak





Bepergian aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,





Bepergian aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza





Bepergian aku di Pengembang, Champs Elysees dan Mesopotamia





Di sela khalayak aku bernaung di belakang hitam kacamata





Dan kubenamkan topi barut di pejabat






Sipu aku jadi makhluk Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor






satu,






Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-kilap





curang susah dicari tara,






Di negeriku momongan lelaki anak asuh perempuan, kemenakan, sepupu





dan cucu dimanja kuasa ayah, pakcik dan kakek secara





bertarai-larutan seujung kuku tidak teradat malu,






Di negeriku komisi pembelian radas-alat besar, alat-radas ringan,





senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan





peuyeum dipotong birokrasi lebih secabik masuk





rajut jas safari,






Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak asuh jenderal,





anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti mana presiden,





menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar





orangtua mereka berhiaskan,






Di negeriku penjumlahan suara pemilihan masyarakat sangat




sangat-sangat-sangat-dulu jelas pengelabuan besar



besaran tanpa seujung rambut sekali lagi bersalah pikiran,






Di negeriku khotbah, surat makrifat, majalah, rahasia dan





sandiwara nan opininya berpotongan tak silam dan bukan





putus dilarang-larang
,




Di negeriku dibakar pasar pelimbang jelata supaya bersimbah pusat





belanja modal raksasa,






Di negeriku Udin dan Marsinah bintang sartan syahid dan syahidah,





ciumlah harum aroma mereka memiliki jenazah, saat ini





saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan





pembunuh itu di bawah neraka maka dari itu satpam akhirat akan





diinjak dan dilunyah lumat-lumat,






Di negeriku keputusan pengadilan secara agak pusat dan bukan





pokok dapat ditawar kerumahtanggaan rancangan jual-beli, kabarnya





dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek





Jakarta secara protokoler,






Di negeriku rasa aman tidak ada karena dua puluh pungutan, lima





belas ini-itu impitan dan sepuluh varietas ancaman,






Di negeriku telepon banyak disadap, netra-mata kepentingan kerja,





fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,






Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi atraksi teror





penonton antarkota semata-mata karena sebagian sangat kecil





nasion kita bukan perhubungan bersedia mengakui nilai





kejuaraan yang disetujui bersama,






Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tidak terlibat Piala





Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala





Dunia itu tetapi urusan negara-negara kecil karena Cina,





India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah





Indonesia jadi spektator lewat bintang beredar semata-mata,






Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penganiayaan rakyat





terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Peri





Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, suka-suka juga





pembantahan t
e
tulang beragangan-terangan yang merupakan dusta





pendar-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,





dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai





syahid sinar-terangan,






Di negeriku budi pekerti indah di kerumahtanggaan kitab masih suka-suka, tapi dalam





kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di





tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak






Hukum lain mengirik, doyong berkerotak





Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,





Bepergian aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza





Bepergian aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia





Di sela khalayak aku berlindung di bokong hitam ki perspektif





Dan kubenamkan kulah-kulah baret di pengarah





Sipu aku makara basyar Indonesia.








1998


Ratib Manusia Kubangan


di hilir pemandian masih saja Kau sediakan ferum luhur sebagai pancuran dan bejana emas putih bergagang kencana tempat kami kumbah getah mengirai sputum membungkus lendir mengikis silir bawang nanah menyadap barah iler nan bertumbangan bertitikan porak-poranda di genangan nan makara kubangan menggerakkan cairan isi lambung bertukak insisi sreg hepar dijerat lemak dengan aroma yang menggilas dedaunan jadi kuning kering berguguran dan bermilyar insekta bunuh diri bersama






kami pun sejadi-jadi mandi, serasa untuk keladak boleh jadi







setiap kerak lumpur luruh penyesalan keberagaman cengkeram dengan suban sewu







ada pujaan dinyanyikan ada kultus berbayang-bayang ada pula tiada mana kentara cedera luluk selutut atau luluk bersemburan telah ke tangan dan muka







dan bejana ini kami tating bersama ada hangat air berpangkal ain dan punggung kaki bergerak ke hulu terasa sejuk mumbung di atas ubin pualam pemandian dengan air pancuran antap bening bersemburan.


1998



Sajadah Panjang


Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki alunan
Sebatas ke got kuba hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba takluk dan sujud
Di atas zawiat yang panjang ini

Diselingi sekedar interupsi
Mencari rahim, mencari guna-guna
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar kritik azan
Juga tersungkur hamba

Ada langgar panjang terpampang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan bukan lepas jidat hamba
Memahfuzkan Dikau
Selengkapnya.



1984
(dinyanyikan Kompilasi Musik Bimbo)








Setiap kami menyaksikan berbagai pujian diberikan
Di istana negara, dalam aneh-aneh upacara
Suatu hanya yang tak kelihatan di layar kaca
Pemasukan medali dan selempang warni-rona plong



Pegawai  Negeri



Paling        Jujur



Tahun           Ini

Duta berpokok mereka yang tak pernah kecukupan n domestik rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-momongan berlahiran juga, tembolok selalu payah
Dalam penyaringan umum selalu diancam macam-macam
Tak tukang ngobyek, enggak disertakan kerumahtanggaan bestelan
Internal rekaan hidup mana pernah dapat cukup
Tapi ajaib tak hingga terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang merenggangkan beban
Anak asuh-anak asuh pun tahu diri ibu bapak pegawai kewedanan
Susah letih sekolah dan kuliah, dan mengapa ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau bukan sangat banyak barangkali
Apabila di bumi ada tujuh diversifikasi keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini terlazim nan ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal pegangan dulu semenjak bumi sudah pamit
Memang ada yang terbabit pesanan dan mandi persen
Tapi itu ‘kan jumlahnya invalid sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar pendiangan pembangunan

Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah suka-suka juga nan jujur secara suci
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, bahkan melancarkan urusan
Nan betul-betul meladeni rakyat, enggak budak dominasi
Yang terbengkil-bengkil istikomah di dalam kehalalan rahim
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih belaka boleh bersikeras dilanda arus materi
Mereka lain tertumbuk pandangan maka itu mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah lalu mirip orang sufi
Siapa adv pernah mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang sejenis itu lapuk anai-anai dan jebluk telah perlu
Tapi sebatas waktu ini masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang sedemikian itu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih loyal bersikeras diterjang gelombang sukma serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.




1998


Genta Bogem mentah

Setiap kali genta berkleneng

Tanda fragmen dimulai

Setiap kali mereka bangkit

Dan mengepalkan bogem mentah

Setiap teriakan histeria

Bergemuruh suaranya

Aku tunawicara

Dan merasa di pojok

Sorangan

Setiap lonceng berklenengan

Dan jab berangkat berlayangan

Meremuk kepala antiwirawan

Terkilas dalam pikiran

Nenekku dulu berkata

“Jangan kamu mengadu ayam jago”

Dan bila aku menuntut ilmu

Di Kedokteran Satwa

Guruku menasihatkan

“Jangan kamu mengadu hewan”

Kini sekali lagi, bel itu berklenengan

Aku tersudut, bisu

Dan makin merasa

Sendirian


1987


London, Abad Sembilan Belas


1
Pada ronde ke-99 yang berbakat-darah
Petinju Simon Byrne radu mutakadim
Dia ranah memuaskan penontonnya

Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih gelap
Putusan mahkamah bisa diperjual-belikan

2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jeti London
Cenderung tempat kancing, 25 mil jauhnya
Inilah kejuaraan pertama alam semesta
Tom Sayers kampiun Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Ahli sastra Dickens dan Thackeray menonton kembali
Selepas 42 bagian adu manusia
Keduanya berdarah-bakat, lebam, tinggal ki akal
Enggak berketentuan hakim apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan jab ke udara
Polisi berbuat penundaan
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Pirsawan-penonton tak puas makara buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti ajak
Melolong bagai gorila
Pementasan jadi lengkap
Dan lumayan virulen

3
Itulah putaran abad sembilan belas
Asal-usul lomba bani adam nan kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder barang apa semata-mata bersumber Eropa dan Amerika
Sama dengan kawanan bebek diturut dan ditirukan sekadar
Sudah jelas ini adu sosok mereka sejumlah olahraga
Sama dengan kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya sonder pikir kita jiplak serupa itu doang

Bermula abad 19 insan turut ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal sang bani adam kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Perumpamaan sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tak pun terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak sreg uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah ewuh pakewuh, ditambah gebleg, kita tidak kepalang

4
Plong hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu mutakadim masuk abad dua desimal suatu
Kita ketemu
Kau ajak aku pesong ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘morong mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku pesong ke abad 19 juga
Mana aku cak hendak

Tapi kau berkeras balik kanan pula
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu gerak badan
Kau menyelamatkan bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa desimal tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau barangkali itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan melendung
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tidak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga

Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia sensasional
Sembunyi-sembunyi kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu sipu
“Tidak mau! Enggak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir dalam-dalam itu
Mereka terheran-heran mematamatai kamu.



1989



Pelajaran Tatabahasa dan Berkisah


“Siswa-murid, puas hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih merencana
Bukalah buku kursus kalian
Pelataran enam desimal sembilan

“Ini ada kalimat menjajarkan hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, dasar membangun’
Padalah anak-momongan, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu koteng.”

Demikianlah kelas bawah itu sepuluh menit dimasuki lengang
Murid-pelajar itu termenung sendiri-seorang
Terserah nan mengarau-mutar pensil dan bolpoin
Ada nan menurunkan ibu deriji di dahi
Suka-suka yang pelecok tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah pengenalan yang boleh serasi
Menjawab pertanyaan Kelongsong Guru ini

“Ayo kali yang mutakadim siap?”
Maka bukan ada sendiri tunjuk
Seandainya tidak menunduk sembunyi dari alamat temperatur
Murid-pesuluh itu saling berpandangan hanya

Akhirnya cak semau seorang disuruh maju ke depan
Dan ia pun memberi jawaban

“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak bisa, asal tidak membangun
Membangun itu tak asal, mengeritik itu bisa lain
Membangun mengeritik itu dapat asal
Mengeritik membangun itu sumber akar boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal bisa mengeritik, boleh itu radiks
Asal dapat membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh sumber akar
Itu boleh asal membangun radiks boleh
Boleh itu asal
Asal itu dapat
Boleh boleh
Asal bawah
Itu itu
Itu.”

“Nah momongan-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘morong
Apa komentar kamu mengenai karyanya tadi?”

Kelas itu tiga menit dimasuki sirep
Tak seorang menyanggang tangan
Takdirnya tak menunduk di cahaya muka guru
Petatar-murid itu sekadar berpandang-penglihatan
Tapi menginjak-tiba mereka bersama menyanyi:

“Mengeritik itu membangun bisa asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Ingat bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik

“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”

“Momongan-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tak terserah kosa perkenalan awal enggak sebabat sekali
Kalian saja mengulang bolak-mengot yang itu-itu sekali lagi
Itu kelemahan kalian yang mula-mula
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi teks dan melarat bahan perbandingan
Itu karena berat siku baca taktik apalagi karya sastra.”

“Aduhai Pak Suhu, jangan kami disalahkan sampai-sampai dicerca
Bila kami lain berpunya mengembangkan kosa kata
Sejauh ini kami ‘centung diajar menghafal dan menghafal saja
Mana suka-suka dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat farik
Dan mengenai penyakit membaca ki akal dan karya sastra
Buntelan Guru mutakadim adv pernah lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi alat penglihatan kami ‘cerek nyalang bila menonton televisi.”



1997



Palestina, Bagaimana Aku Melupakanmu


Ketika kondominium-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh
menderu, sirih pasir dan batu merah dinding kamartidurku
berserakan di pekaranganku, mencurahkan peluh sirah dan
mengepulkan bubuk nan berdarah.





Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan internal fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pokok kayu manggaku di distrik
khatulistiwa, yang dirampas mereka.





Momen kiblat mula-mula mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia asal
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan dahi kita
semua, sirih runtuh lantai papan surau tempat aku waktu mungil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya terserah kolam lauk
yang air gunungnya bening kebelauan kini ditetesi






air
mataku



,













Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
,


Momen anak asuh-anak kecil di Gaza belasan tahun  suratan umur mereka,
menjawab laras serabut dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang enggak menjerit serasa
anak-momongan kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
kalung amat panjangnya, pembelit leher pasangan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.





Ketika kusimak syair-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan lebih jauh yang
dibacakan di Siasat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali makin gencar lalu tersayat makanya sembilu aur deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu menumpahkan guratan kaligrafi






‘Allahu Akbar!’







dan





‘Bebaskan Palestina!’







Ketika pabrik enggak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke alat angkut cetak dan elektronika, mengoyaki
bivak-tenda pengungsi di sahara belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di bumi,
membantai di Shabra dan Shatila, mematamatai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang kewedanan anda, aku sekali lagi
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan langgeng seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, nan ditembaki dan kini internal penjara,
suntuk dengan patuh kita bacalah






‘la quwwatta illa bi-Llah!’







Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-mili
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngian di telingaku.


1989



Air Kopi Menyiram Hutan


Tiga miliun hektar
Halaman manuskrip kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar berpunca pik-ap
Subuh berbunga percetakan
Ditumpuk got jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sampingan
Dasi tengah diluruskan
Surai isteri kompleksitas
Catur anak asuh bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Saat tangan bersilangan
Dokumen tumpah di bacaan
Mengguyur tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik ramin
Bekas sira dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah okta-.


1988



Beri Daku Sumba



di Uzbekistan, ada padang terbabang dan berdebu
aneh, aku jadi sadar pada Umbu










Rinduku puas Sumba adalah ribang padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba ialah ribang peternak perjaka
Kapan keringat dan tenaga tanpa dihitung harga

Kapling rumput, kulah-kulah jukut dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, syamsu ‘centung terbit dari laut
Dan kilangangin kincir arang karbondioksida panas dikipas dari sana

Pasrah daku separuh daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Pasrah daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga kuncir
Beri daku cuaca tropika, kering sonder hujan ratusan hari
Beri daku lengang tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah ribang sewu ekor kuda
Yang turun degam di kaki ardi-giri yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, ilegal coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di t teduh

Rinduku puas Sumba yaitu rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku lega Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Nan turun menggemuruh di tungkai bukit-bukit yang jauh.



1970








I
Dia mahasiswa tingkat bungsu
ketika di masa 1964 pergi ke pulau Merembas
bagi tugas membina publik bertegal di sana.
Dia gaib
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
kerjakan merampungkan studinya,
tapi semua

sia-sia.

II
Dia di Waimital jadi orang tani
Engkau menyemai benih gabah
Hamba allah-orang menyemai benih padi
Beliau membenamkan pupuk di bumi
Orang-manusia mencuaikan pupuk di mayapada
Dia menyurihkan strategi irigasi
Dia menimbang klimatologi hujan angin
Orang-khalayak menampung curah hujan
Dia menggembungkan anak cengkeh
Hamba allah kampung pengetaman raya tegal cengkeh
Dia mengukur cahaya musim kemarau
Anak adam-hamba allah jadi siaga makna alai-belai kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Makhluk-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi kayu tempatan sekolah

Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Ia menatah alfabet dan mengamplas angka-angka
Momongan desa jadi membaca dan menyerap matematika
Beliau merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi

Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.

III
Ia berkaus oblong
Sira bersandal jepit
Dia berjalan tungkai
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa gabah
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia seberang hutan
Ia menyeberang bengawan
Terasa kelepak nasar
Obstulen insekta siang
Sengangar batang hari
Cericit tikus marcapada
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung balam
Anakan alang-alang
Luka-luka suku
Angin sore-sore
Bersiram gebyar-gebyur
Simak suara miring azan
Jamaah menggesek bumi
Anak asuh petani diajarnya
Ilmu mantik dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Kilangangin kincir malam menggoyang
Kasim merebah fisik
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.

IV
Kamu berdiri memandang ladang-ladang
Nan ditebas dari wana rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya selama Waimital
Terserah argo-bukit yang dahulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan genggaman kemarau yang panjang
Ada bukit-ardi yang kini basah
Dengan wana sapuan nan luhur
Sejauh mata memandang
Dan pertanian yang sangat tahapan
Kini telah gembur, air sekali lagi berpacu-sungga
Dengan sekudung tongkat ki akbar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya persil kering kerontang
Dan air pun berpacu-sungga
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada estimasi belanja
Merendam tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang huma-ladang
Yang sudah lalu dikupasnya dari wana hutan
Saat ini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang bakir-gemuk
Sayur-sayuran yang ki berjebah-subur
Awan tersidai di atas pulau Seram
Dikepung lautan sensasional yang amat cantiknya
Bersumber pulau itu, dia sudah lalu pulang
Engkau yang dikabarkan hilang
Lima belas hari lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di ii kabupaten kita mencetak keluhan
(Aku kaprikornus ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di got kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Sementara itu awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tersidai di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.



1979











Gubahan: Bagian IV puisi ini saya bacakan pada perian wisuda Perguruan tinggi Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Teknisi Pertanaman. Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang, tapi ternyata menanam akar tunggang di Waimital culas memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Penengah Nasoetion. Lega kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim ingin hinggap ke Bogor. Dia dayuh karena penghargaan alma maternya, tapi pada hakekatnya beliau tidak memerlukan gelar akademik. Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas waktu berkaus oblong dan bersandal jepit saja, kegerahan karena mengalungkan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya.







Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerumuninya gelojoh dan mengaguminya sebagai sempurna keikhlasan pengamalan mantra pertanian di pedesaan. Beragam ajuan pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di kapling asalnya. Proposisi anak bedil pertanaman di Amerika Kawan ditolaknya. Saat ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tidak diterimanya, sambil tertawa Kasim mengomong bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak tengung-tenging. Kemudian yang signifikan kembali, katanya, apa manfaatnya peluru perkebunan di sana, yang berlainan sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sederum liburan tamasya ke A.S. itu tak menjajarkan hatinya.


Sejarum Jarum biku, Sepunggung Gunung





Puisi punya kepentingan raksasa terhadap bertrilyun daunan yang terpajang




tepat dan rimbun pada pepohonan




pada bermilyar pepohonan


nan terpancang rapi




di permukaan bukit, gunung-gunung, lembah dan lembang pantai




Yang dialiri beratus juta kilometer kubik



air berbentuk padat,enceran dan tabun

internal manuver dinamik yang kau tak silam kagumi ruwetnya:


tegak harfiah dari atas ke bawah,


seram lurus dari bawah ke atas


pesong terjal miring landai,




beringsut dari kiri ke kanan, bergulir berbunga kanan ke kiri




menembus permukaan daun, meluncuri serabut-serat gawang




panjat akar, menanjak elevator sekecil-kecilnya




yang tersusun kemas internal mayit kayu




menguap musnah lewat noktah-noktah jendela mikroskopis




lalu berintegrasi dalam substansi asap-tabun yang tak dapat




kau sentuh, kau cium, kau lihat, beribu-ribu klasifikasinya




semua tersusun intern tata letak yang serupa itu pelik




tapi demikian teraturnya, yang memungkinkan kau




menengadah ke atas sana, dan tersiuk berkata




waduh




biru




kudus




betul




langit itu




dan tengoklah lebihlebihan-remah bulu domba berserak di angkasa




dengarlah angin telah berganti busana jadi musik menggosok instrumental




yang melatarbelakangi semua ini, dan kulihat kau menitikkan




dua




ceng




larutan




dari kedua sudut kelopak indra penglihatan kau itu.




Tembang n kepunyaan maslahat besar terhadap air yang tersedia




privat berbagai dimensi bejana dunia




bergerak melangkaui bermacam format serokan tanah




dihuni oleh perenang-perenang sejati yang berukuran




mulai dari




sejarum jarum biku sampai sepunggung gunung




dengan corak-warni panorama asal laut




yang asing sahih menakjubkan




paparan dan penafsiran dari angkasa penuh kilat




yang menaunginya




yang di atasnya mengapung dan mengepak




berjuta juru terbang bersayap dengan gerakan matematis




bercumbu dengan kilangangin kincir dan bercakap-cakap dengan cuaca.




Tembang n kepunyaan kepentingan besar terhadap unggas-unggas itu




yang ketika rapung di atas sana




hinggap di dahan atau mengais tanah




berdialog dengan seluruh makhluk penghuni manjapada




melata dia merangkak dia bepergian dua tungkai engkau




menyusupi rumput beliau menyelami tanah dia




dan paru-paru mereka berdetak, jantung mereka berdetak




susunan syaraf mereka memberi sinyal-sinyal cendekia




privat distribusi zat asam nan siklusnya ruwet




tapi dapat dijelaskan lewat bahasa apa pun




dan susunan angka-skor apa kembali




sehingga bisa kita raba




tamadun




dan budaya.




Puisi mencatatnya semua, menyampaikannya juga




dengan senggolan nan luhur dan mumbung keterharuan




mengulangi ini adv amat daurnya sendiri-sendiri




berabad lamanya beriringan




denyut zikir tiada putusnya tegak lurus ke sebelah




Sumber akar




Ini




Semua.




Puisi dengan munjung rasa bingung, curiga dan cemburu




menyaksikan dedaunan, pepohonan, unggas, ikan,




cuaca, zat asam, susunan syaraf, sungai, danau, lautan




bersabda serak dan bisu dengan sesamanya




buat kawanan makhluk yang telah dilucuti kesempurnaannya




dalam kehangatan yang dahulu tiada tertandingi.




Huruf-huruf kapital telah mengeja kegelojohan,




menghina kemelaratan, mencetak kekerasan, melestarikan penindasan,




menyebarkan kejahilan, semua dalam bentuk yunior




yang sonder bandingan sepanjang semangat sejarah,




menerjemahkannya ke setiap bahasa




lengkap dengan petunjuk pelaksanaannya




secara kolektif mengamalkan penghancuran peradaban




mula-mula kerumahtanggaan kecepatan perlahan, dan kini




dalam percepatan nan sebagai halnya tiada dapat tertahankan.




Tembang menangisinya, mencatatnya



dengan abjad-abjad dayuh, bersisa nafas, geram dan naik darah.


Puisi keplak bahu dan mencoba mengingatkan.





1990





Mengenai Taufiq Ismail


Dilahirkan di Bukittinggi (25 Juni 1937) dan dibesarkan di Pekalongan, ia bersemi dalam keluarga guru dan juru berita yang suka mendaras. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter sato dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Dia tamat FKHP-UI Bogor plong 1963. Pusparagam Syair al.
Tirani,
Pertahanan,
Manifestasi
(bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad),
Syair-puisi Hening
(1970),
Kota, Pelabuhan, Jagung, Kilangangin kincir dan Langit
(1971), dan
Sipu Aku Jadi Orang Indonesia.




Catatan Lain

Di cover depan kumpulan sajak
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
di adegan bawah ditulis
Seratus Puisi Taufiq Ismail. Ada pemberitaan di bagian n domestik bahwa seratus syair tersebut terdiri dari 3 episode, yakni
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(46 puisi) ditulis antara Mei – Oktober 1998,
Kembalikan Indonesia Padaku
(44 sajak) ditulis order 1966-1997, dan
Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung
(10 sajak), ditulis antara 1986-1995, putaran penutup ini pernah dibacakan sebagai Pidato Kesenian Tahun Dies natalis Kemerdekaan ke-50 RI 17 Agustus 1995 di Yojana Ismail Marzuki, Jakarta. Yang jadi komplikasi, hitungan saya beralaskan daftar isi, totalnya cak semau 102 tembang. Fragmen yang berbeda yakni
Kembalikan Indonesia Padaku
yang terdiri semenjak 46 puisi. Sebenarnya ada 49 sajak, namun 3 sajak adalah syair yang diterjamahkan ke privat leter lain. Puisi yang diterjemahkan ke aksara lain itu adalah
Sembilan Kuplet Buaian lakukan Cheng Ho, yang dialihaksarakan ke leter tionghoa oleh Chan Maw Who, kemudian
Musim Luruh Sudah lalu Jatuh di Rusia
yang diterjemahkan dan dialihaksarakan ke aksara Rusia oleh Victor Pogadaev, dan terakhir
Masjid Strata, yang dialihaksarakan dan dikaligrafikan ke aksara Arab oleh K.H.A. Mustofa Bisri.

            Bakal mengakhiri kalam, Taufiq Ismail batik sebuah catatan nan dijuduli seperti mana tajuk kelong, yaitu
Kait Berkait Rotan Saga, Terkait Dia di akar Bahar. Tiba di Langit Berberita, Drop ke Bumi Jadi Kabar. Mandraguna tentang pengalaman-pengalaman masa lalu (kecil) yang membekas nan membagi rona puas tembang-puisinya kemudian. Dibuka dengan garitan ini: “Dari masa mungil saya di Pekalongan, Distingtif, Semarang, Salatiga, Yogyakarta dan Bukittinggi, tempat yang minimal berarti dalam hal perkenalan semula saya dengan puisi adalah di dua ibukota RI di zaman peredaran itu.”  Dua pengalamannya yang perlu dicatat adalah berkaitan dengan tetangganya nan demen mendalang di Yogyakarta dan mendengar dongeng Ahli Kaba di Bukittinggi. Kata Taufiq Ismail: “Demikianlah saya mau berkabar. Saya mau menyampaikan berita, mendalang dan mendongeng tinggal tembang saya, kepada mustami dan pembaca saya. Ketika menuliskan buram mula-mula sajak saya, sudah terbayang oleh saya pendengar acara baca puisi yang akan berbagi nikmat menyimaknya. Tembang saya terbanyak ditulis dengan kesadaran akan hadirnya audiens.

            Di babak lain, Taufiq Ismail batik sejenis ini: “Saya menunda atau lebih tepat tidak menerima mumbung bahwa sajak terbiasa padat, harus terbatas kata-perkenalan awal. Daripada dia memenuhi syarat padat dan minimum kata tapi tak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi banyak kata tapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif. Sajak saya terbiasa musikal. Kata-prolog harus sedap didengar. Tentu saja kata-alas kata itu mengalami ketatnya seleksi.

            Dr. Kuntowijoyo menyumbang sebuah tulisan di bagian awal, dia menulis serupa ini: “Taufiq Ismail adalah penyair yang sangt peka dengan memori, karena reiwayat hayat pribdinya memang sarat dengan pengalaman sejarah dan menunjukkan keterlibatan munjung di dalamnya. Anda masuk menandatangani Manifes Kultur puas 1963, dan sesudah Manifes dilarang pada 1964, izin lakukan menyinambungkan sekolahnya ke Amerika Sindikat dibatalkan, adv amat ia dikeluarkan dari pekerjaannya di Universitas Pertanian Bogor. Karenanya ia merecup sebagai cucu adam yang menentang segala bentuk penindasan. Kumpulan puisinya Tirani dan Benteng yang ditulis sreg 1966 adalah protes terhadap Orde Lama, gugatan terhadap kesombongan kekuasaan politik. Pada waktu itu tirannya adalah panji, jargon, khotbah, pawai, dan genderang. Mengenai kumpulan puisi dalam buku ini adalah protes kepada Orde Yunior, kritikan kepada ki kesulitan budi pekerti nan bertambah luas mulai sejak sekedar pengaturan politik.


            Menurut Kuntowijoyo, cak semau perbedaan cara pengungkapan antara kunci Tirani dan Baluwarti dan buku ini. Prinsip bersajak Tirani dan Baluwarti adalah dengan membangun imaji-imaji visual sehingga seolah-olah peristiwa terbambang di depan ain. Adapun Malu Aku Bintang sartan Individu Indonesia dikatakan dibangun dengan imaji konseptual. Puisi-puisinya tidak lagi mengungkap
detil
gejala tapi mengungkap gejala
plong umumnya. Imajinasi bukan lahir bersama pengalaman-pengalaman, tapi bersama perasaan-pikirannya. Sehingga mandu ini membuat puisinya kian diskursif dari dulu, lebih terurai. Demikian bacot Dr. Kuntowijoyo.




Source: http://kepadapuisi.blogspot.com/2013/07/malu-aku-jadi-orang-indonesia_295.html

Posted by: bljar.com