Cerpen Pengalaman Bermain Sepak Bola
Cerita Pendek Karya Thomas Sunlie Alexander
Lapangan yang bukan adil, kata Aswin. Bek kanan yang tangguh, tapi mudah terpancing emosi. Dia enggak menyungguhkan, lain lagi menidakkan. Pemain lawan juga sering mengikat jikalau bertanding di alun-alun sepak bola kampungnya itu. Kesebelasan yang berkat giliran menempati sisi lapangan yang landai mesti berjuang bertambah gigih. Bola untuk bergulir lebih liar dan lawan menyerbu seperti air bah. Sekejap-sekejap bola datang, Aswadi kiper timnya, terpontang-panting mengamankan papan. Sebaliknya, betapa sulitnya menggiring si kulit bundar ke papan sebelah.
Usianya kala itu baru belasan periode. Mereka patungan menyablon kaus. Biru cahaya sebagai halnya kostum
Les Bleus,
tim nasional Prancis. Engkau kebagian nomor bekas kaki sapta. Gelandang kiri. Sebetulnya engkau lebih suka bermain sebagai penyerang dan selalu yakin ia anak bangsawan haus gol. Serangan-serangannya tajam, menusuk sinkron ke dalaman benteng imbangan. Namun, Bang Amran berkeras ia harus main di sayap.
“Tendanganmu kurang akurat, tapi umpan-umpanmu bagus!” kata mbuk iparnya yang menjadi pelatih kesebelasan kampungnya itu. Bukan ada gunanya berbantah. Tahi lalat, ia melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Bola tumpah-ruah berpangkal kakinya. Umpan demi umpan dengan gemilang disorongkannya. Ferdiansyah dan Fuad selalu subur memanfaatkan umpan-umpannya dengan memadai baik.
Berkali-kali mereka menjuarai turnamen 17 Agustusan dan berhasil merebut Camat Cup dua tahun berentetan. Bahkan sekali menjadi
runner-up
Piala Tumenggung. Cuma, justru di kejuaraan memperebutkan piala Majikan Desa mereka seorang, di kandang sendiri, kesebelasannya mesti tersingkir di putaran peminggiran!
Ya, tidak mungkin sira menaksirkan kejuaraan itu biar sudah lewat bertahun-tahun.
Berdesakan, nyaris tergencet, di antara beribu-ribu calon penonton yang berkoar-koar murka, gambaran masa sangat itu merambat kerumahtanggaan kepalanya, seperti tayangan ulang di layar televisi. Digenggamnya erat-hampir tangan Riko, anaknya yang baru 10 tahun, agar tidak ikut terseret revolusi massa nan lebih kehilangan kesabaran. Bukan ada lagi antrean. Terjadi tolak-menunda, saling sikut.
“Holid turuun! Holid turuuunn…!” suara kemarahan itu membahana di langit siang yang elusif. Beliau mencoba mengapalkan Riko menepi. Namun itu pun bukan keadaan mudah. Oh, betapa wajah-wajah lejar yang terpandang beringas di sekelilingnya kini serta-merta mengenangkannya pada hamba allah-orang kampungnya sendiri, nan sekonyongkonyong saja makara berangsangan tatkala berdiri di pinggir lapangan bak suporter magrib itu.
Setakat sekarang, ia camar nanang hari itu terlampau awal mereka datang ke tanah lapang. Para penonton juga bertandang terlalu dini. Kompetisi akan dilangsungkan pukul empat sore, tapi jam dua warga kampungnya yang menjadi suporter telah tumpah ruah di pinggir pelan. Begitu bisingnya. Para pemuda berteriak-teriak dan berolok-olok ribut. Kaum ibu dan momongan-anak tidak kalah gaduhnya. Tak teradat tiket, tapi bandar spekulasi berkeliaran, kupon-kupon putih diam-diam diedarkan dari tangan ke tangan. Ahli bakso, penjual polong goreng, ahli es, gerobak nasi goreng, dan penjaja mainan anak-anak timbrung menyemarakkan suasana di luar lapangan.
“Kami sudah kesuntukan dana!” teriak Sampul Burdin, ketua panitia penyelenggara, seperti kebakaran janggut momen warga memprotes minimnya fasilitas di lapangan. Mikrofon soak dengan suara cempleng, papan skor yang secukupnya, dan lapangan jelas tak dibenahi dengan semestinya. Penduduk namun bisa bersungut-sungut.
Sungguh suasana menjelang pertandingan yang panas itu seolah masih bisa anda rasakan. Telinga mereka sampai terasa bising makanya suara teriakan. Maklum, supaya merupakan laga pertama kesebelasannya dalam turnamen, antiwirawan nan akan dihadapi tahun itu adalah kampung tetangga yang menjadi oponen turun-temurun selama bertahun-tahun.
Andeng-andeng, lain cak semau alasan menyalahkan pelan jelek atas kekalahan. Kamu tahu itu, semua teman-temannya tahu. Malah bermain di kandang seorang, di hadapan orang-orang kampung nan mulai-tiba menganggap sepak bola sebagai fragmen terbit pertaruhan harga diri mereka.
Di lapangan buruk itu, tim yang makin dulu menempati papan berumput lebat tentu tak menyia-nyiakan kesempatan mencetak skor sebanyak bisa jadi. Dan biasanya memang hampir selalu keluar sebagai kampiun. Maka ketika wasit membanting koin Rp100, ia kembali berdoa dengan sungguh-betapa agar Pudin bukan salah memintal gambar gunungan wayang. Puji-pujian itu terkabul. Mereka bersorak kegirangan saat melihat sebelah koin nan mendelongop di jejak kaki tangan wasit, seakan-akan sebuah gol hijau saja tercipta. Wajar hanya sekiranya suara cemooh dari suporter lawan lagi terdengar seperti itu Aswadi remang di durja gawang pilihan. Suasana menajam karena para pemuda kampung mereka membalas cemooh itu dengan garang. Terpandang aktual rasa panik di paras orang-orang yang menjadi polisi. Justru lapangan itu hanya dipagari tiga utas rayon lombong.
Tapi kedudukan konsisten saja berubah jadi 2-3. Jeritan pendukung teman bergemuruh keras. Ia terhenyak. Panasnya perlombaan itu menciptakan menjadikan badan mereka seperti meleleh, tak juga makmur disejukkan oleh gerimis nan mulai menetes satu-satu lantas menggembung. Sebatas memasuki menit ke 74, satu gol sekali lagi menjebol gawang Aswadi. Kali ini dari noktah penalti! Mewujudkan kedudukan kaprikornus imbang 3-3. Kebahagiaan suporter bandingan meletus. Menyusul saling ejek dan lempar-lemparan nan tidak terhindarkan. Vas minuman, racikan papan, dan batu mulai menyimpang.
Dahulu, bencana itu datang! Dia seram di sana, sira pulang ingatan, di pojok kiri gawangnya koteng. Semua pemain turun membantu benteng. Malah Ferdi tak pernah pun mendaki melalui garis tengah tanah lapang sejak gol penalti lawan tercipta. Ooh, bagaimana mungkin bisa sira lupakan serbuan yang cak bertengger begitu bertubi-tubi itu, mewujudkan mereka nyaris kocar-kacir.
Ya, seolah-olah baru kemarin peristiwa itu berlangsung. Jelas sekali internal ingatannya: bola itu datang bermula depan, menggelinding lurus ke tengah gawang. Aswadi tersungkur di luar boks penalti setelah berjumpalitan menghambat dua tembakan berturutan Salim. Aswin berusaha menyapu bola namun luput. Sahaja dirinya, satu-satunya individu nan bisa menghentikan laju bola itu, menyelamatkan gawang mereka bermula kebobolan.
Hanya entah sudah takdir, atau amung-mata kesialan. Ah, malapetaka itu sama dengan diputar ulang kerumahtanggaan benaknya: Kakinya terpeleset makanya licinnya mulut papan. Beliau kekurangan keseimbangan tepat di detik ujung sepatu kanannya menyentuh bola! Demikianlah. Anti dengan kehendaknya menendang bola jauh-jauh ke luar lapangan, sang selerang bulat apalagi terpelanting keras ke sudut kanan gawang. Tanpa ampun serempak mencarik jaring!
Keributan berasal di luar tanah lapang. Sorak-sorai suporter imbangan seketika teredam oleh teriakan-teriakan marah. Sebagian pirsawan bercerai berlampar. Polisi dan polisi kadang-kadang tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke sebelah suporter lawan. Sebagian menyerbu ikut ke dalam alun-alun. Belum juga sempat anda beranjak kambuh, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.
Bagaimana mana tahu ia melengahkan pertandingan itu? Kepalanya nan mendapatkan pukulan batang tiang harus menerima lima jahitan dan diperban lebih dari seminggu. Tak koneksi diketahui siapa pemukulnya, bahkan lilin batik harinya rumahnya sempat dilempari orang tak dikenal.
Itulah bontot kalinya dia bermain bola. Karena dua pekan berselang, hanya tiga masa setelah ia menyepakati ijazah kelulusan SMA-nya, ayahnya memanggilnya selepas sore.
“Paman Hanif menanyakanmu,” kata ayahnya ketika itu, langsung menatapnya gagap. “Terserah salam pecah bibimu,” ibunya menambahkan. Amoi itu kecam pengikat di kepalanya dengan trenyuh. Beliau siuman, bagaimana sira hanya bisa tertunduk di sisi meja ruang paruh.
“Kau mau kuliah?” pertanyaan si ayah kemudian. Kamu saja menganggut kerdil. Sejak itu, kakinya tidak ikatan lagi sampai ke bola. Bukan pernah sekalipun kamu hinggap ke lapangan maupun stadion.
Ai, jikalau lain karena Riko merengek terus-menerus sehingga membuat istrinya sewot, takkan pernah ia menginjakkan kaki di stadion ini, pikirnya getir. Meskipun ia senggang, anak semata wayangnya sangatlah menyukai sepak bola.
Suasana di depan stadion besar itu semakin tegang, semakin panas. Langit siang seakan ikut memerah. (*)
Yogyakarta, 2015
***
Tentang Pengarang
Thomas Sunlie Alexander lahir pada 7 Juni 1977 di Belinyu, Pulau Bangka. Sira menulis cerpen, syair, esai, suara miring sastra, ulasan seni rupa, dan gubahan sepakbola di berbagai kendaraan yang terbit di Indonesia, serta sama sekali mengerjakan parafrase. Pokok puisinya nan berjudul Sisik Ular babi Tataran diterbitkan secara terbatas maka dari itu Halaman Indonesia (2014). Daya cerpennya nan mutakadim berbunga merupakan Malam Buta Yin (Gama Ki alat, 2009) dan Candik Taruna Dewa Dapur (Ladang Pustaka & Sungai buatan Tua, 2012). Tentatif itu, novel karya Mo Yan, The Garlic Ballads (Balada Bawang Putih) yang diterjemahkannya akan segera diterbitkan.
Cerpen “Kenangan Pada Sebuah Perlombaan” ini sendiri adalah cerpen yang sekali lagi mengingatkan kita, bahwa di balik sisi indah sepakbola, ada beberapa hal-hal getir dan ingatan nan menyesakkan nan selalu menolak bagi dilupakan. Sebagaimana halnya cerita Moacir Barbosa, sepakbola kadang boleh menjadi kutukan nan serupa itu bengis bagi beberapa pihak, menorehkan tarum hitam nan akan sulit untuk dilupakan, apalagi oleh waktu sekalipun.
Cerpen ini pertama kali diterbitkan maka dari itu surat kabar Media Indonesia plong 5 Juli 2015.
Sendang lukisan: elguanche.info
Source: https://www.panditfootball.com/207586/cerpen-sepakbola-quot-kenangan-pada-sebuah-pertandingan-quot-karya-thomas-sunlie-alexander
Posted by: bljar.com