Cerpen 1000 Kata Tentang Guru
Gadis JEPUN
Oleh
Dedi Irawan ( Nama pena Dedy Syairnip)
Guru SMA Daerah 1 Terara
Matahari bersiap terendam di ujung laut bangkang cakrawala mendandani angkasa. Burung layang-layang berterbangan mengapakan sayapnya mengisi langit-langit desa, bahkan setakat kota. Terbang dengan formasi tarian mengundang penis yang lain. Berketentuan atau tidak, formasi terbang burung bisa menjadi inspirasi cucu adam berburu sesuatu yang harus di capai intern kehidupan.
Malam sudah lalu pongah!!
Tokek- borok, seiring malam pekat yang meyelimuti. Dinginnya udara lilin batik menjolok liang liang renik dan tulang. Ranah? bulan bergerak enggak tentu rimba. Bintang- bintang bersembunyi di balik awan. Lampu neon sudut rumah jiran bergerak pelan, dikipasi angin malam.
Yana sik dayang Jepun usia-Mu sudah 26 tahun. Hampir empat tahun sudah lampau di asing kota. Durja buntar, setitik
Tai lalat
di bawah bibirmu sisi kanan.
Catur tahun, ya empat perian Yana nan sudah ku juluki sebagai Cewek Jepun menghindari desa kelahirannya. Gadis Jepun memufakati, bahwa empat waktu bukanlah waktu nan pendek bikin membuat desa kelahirannya itu berbenah.
“Halo,
Merpati
Tunggal.”
Sial,
koq
anda kenal namaku? Nama panggilan itu khusus buat Yana sik Gadis Jepun. Belum 20 detik aku pun bertanya, kenapa sira menyebut nama panggilan yang bisa dikatakan sebuah rahasia.
“Han, dari mana tahu nama panggilan itu?” Soal ku.
“Sekitar beberapa rembulan, waktu di Yogyakarta. Aku bertemu dua amoi, dia sedang asik mendaras sosi di perpusatakaan kampus. Kebetulan, waktu itu aku ingin mengejar kunci ilmu jiwa sastra, karena ada tugas dari dosen mata kuliah sastra. Minus bersabda tinggi pepat ya. Dia membualkan tentang dirimu.”
“ Haa, dia menceritaka tentang diriku?”
“ Ya.”
“Han, masih ingat tampang orangnya?” Soal ku, bagi menyakinkan apakah ia orangnya maupun tidak.
“ Ya, aku masih sadar. Wajahnya melingkar, dia punya
Tai lalat
di bagaian kanan radiks bibirnya.” Jawab dengan suara datar.
Aku terdiam, tak sempat segala yang harus ku katakan. kisah yang dua tahun merecup, kini sudah layu sampai-sampai sebentar lagi gugur selama hampir empat tahun ini. Segala apa memang benar dia orangnya. Gadis yang punya
Tai lalat
teko banyak. Enggak engkau namun.
“Katanya dia mau pulang ke Lombok. Tahun itu,” ungkap Han, menoleh wajahnya Rawa.
“Beliau ingin pulang?” Tanya ku
“Ya, siapa luang engkau sudah pulang.”
“Sepanjang ini, Rawa tidak pernah hubungi dia?”
“ Ya, “Lain Tahu.”
Aku terdiam pula, setelah mendengar cak bertanya itu!
Aku teringat satu tahun nan silam, aku
terbengong-bengong
mengamini sepucuk surat dari temannya yang isinya cukup membuat dada
terlalu.“ Cari wanita lain!”Hanya sepatah frase. Dibilang kalimat juga tidak. Sosmednya kembali dia blokir,gimana aku bisa hubungi. Sira menghilang tanpa sebab, Han.
“Sepucuk arsip?” ungkap Han.
“Ya, sepucuk inskripsi. Seperti aku tidak hidup di zaman modern.”
“Hmmmm…”
Campah menegur, membuat sekepal tetesan darah menjadi beku di lilin batik tahun.
Rindu kini menggeliat datang, sehabis mendengar namanya pun. Mengapa ribang ini jua menepi. Kandaskah? Terpelanting kandaskah kabarku kepada nya. Ah bukan! Tak siapa. Sebab hanya dialah yang bisa memaknai aku sebagai segumpal darah, segumpal daging yang masih di diami vitalitas, dan enggak terlalu buruk di sebut manusia.
Memang, ribang ini telah jauh merapah. Bersama angin. Bersama camar yang melangkahi waktu-hari dengan nyanyian kapaknya. Bersama daun-daun nangka bergemerisik menyapa. Mengantarkan kedahagaan ku padamu Yana sik
Perawan Jepun.
***
Itulah dunia. Wadah bandar. Cepatnya malam, bahkan hari pun cepatnya start. Akhinya!
Aplaus itu menggema di pagi hari. Tetapi suatu burung berjingkrak- jingkrak di atas tumbuhan tua. Ranting-rantingnya habis gersang, tinggal menunggu hari kamu akan drop. Sungguh malang nasib mu.
Kupandang gadis itu. Melanglang terseok di antara keramaian warga desa. Wajahnya dingin semburatkan kekakuan, seakan menyimpan selaksa pikulan nan bukan terburai. Bilamana ku pandangi wajahnya dan mengepas menyelami intern bibir di ain dinginya. Tapi gagal! Tidak menemukan apa-apa sepertinya kertas nol. Lain terserah kilap kebahagiaan dimata itu, seperti bukan ada kesedihan! Datar tanpa ekspresi.
“Aduh, itu kan Yana.” Ucap relung hati.
Aku tersentak, segera merogoh saku dan membayar sebukus rokok yang telah di tangan. Lalu, hentakan kaki ku mengikutinya dari birit. Ingin memastikan apa bermartabat anda ataupun enggak. Ternyata bersusila, apa yang dikatakan Han semalam. Kamu telah di Lombok.
“Yana…, Yana…” Aku panggil dengan suara menjemukan. Takutnya jemah salah cucu adam.
Kamu menoleh, kearah sumber suara. Wajahnya tertumbuk pandangan jelas
terbengong-tebengong, ditengah keramian warga desa.
“ Rawa.” Ucapnya.
“Ya, aku Paya.” jawab ku, tegas.
Yana sik Upik Jepun. Wajahnya tampak jelas kaku, setelah mendengar jawaban itu.
“Setelah tinggal di luar daerah tingkat, secapat itu berubah. Beliau menghilang tanpa sebab, apa engkau pangling dengan janji itu. trus, se-enaknya utus spucuk tindasan lampau temanmu. Sosmedmu juga kamu blokir.”
“Sepucuk salinan?”
“Yaaaaa,” tegas sambil melirik, wajahnya Yana.
“Apa, karena buya-Mu. Sira berubah secepat itu. Jangan-jangan, kamu merahih pendidikan di luar ii kabupaten, itu sebagai alasan sekali lagi. Menghindar mulai sejak ku.”
“Cukup…, cukup…, Rawa!” teriaknya kecil.
“Ini awal pertemuan kita kembali, setelah dempet empat waktu aku sirna. Mana tahu aku enggak mak-nyus menjelaskannya disini. Sekiranya memang kamu membutuhkan penjelasan, kita ketemu juga nanti sore, di medan jumpa hindar kita sangat.”
Rawa melirik wajahnya Yana, tanpak jelas sedikit merah.
“Okee, aku mutakadim lama memendam ini semua!” ujar ku.
“ Lain saja anda. Aku juga serupa itu.”
***
Jam diding ulas tegah menyasarkan pukul empat suntuk sembilan belas menit. Di luar hujan masih tetapi turun dengan derasnya. Angin yang menerobos timbrung melewati lubang-lubang loster. Hambar menusuk kulit. Baju tipis di tubuhku tak banyak membantu menghalangi adem, sehingga kiranya lebih panas kuku kepakai jaket deras. Agak menolong, memang.
Akan tetapi, taki ku bersama Yana itu lebih terdahulu saat ini berpokok pada menunggu hujan reda. Enggak ada yang ganjil tertumbuk pandangan. Sampai-sampai terasa magnalium persis tidak berubah sebagai halnya dulu. Pohon
Jepun
mutakadim puluhan musim masih langgeng. Gabah para peladang sejenang lagi menguning. Mereka tinggal menunggu hasil.
“Selamat sore, Paya” Ucap Yana dari samping kanan tanaman Jepun.
Rawa menoleh.
“Sore juga.” Jawab ku.
Bukan lama. Dengan rasa penasaran terlalu tinggi, suasana munjung jenama soal menciptakan menjadikan ku tidak sabar. Sinkron mencerling kuperhatikan dia. Hampir empat masa sudah menghilang tanpa sebab. Sekucur tubuhnya ada pertukaran. Tiba dari rona kulitnya, sebelum keluar daerah tingkat. Kulitnya hitam manis, sekarang kuning langsat. Pipinya semakin tembam. Aku menyadari semuanya, peristiwa itu bisa tetapi terjadi karena makan, tidur, dan lektur. Hanya itu yang terjadi padanya.
“ Kini kita akan bedah semuanya.” ucapan ku tegas
Yana melirik wajahnya Pandau, setelah mendengar suara miring sedikit tegas.
Dempet empat waktu, enggak peristiwa nan mudah. Bakal mejalani semua ini, hilang tanpa sebab. Sepucuk surat ku terima membuat dada
sesak. Sekarang jawab pertanyaan ku.
“Nomor satu. ‘apa kamu kenal foto orang ini.’
“Hmmm, ini pria yang aku temui diperpustakaan kampus.” Ucap dalam hati. Lanjut.
“Kenal, aku pernah ketemu di bibliotek kampus?”
“ okee, seandainya begitu.”
“Apa kamu bercerita akan halnya diriku?”
“Ya.”
“Bermanfaat Han etis. Dia orangnya!”
“Nomor dua.
‘ kenapa Sosmedmu anda blokir begitu tetapi?”
“ Aku tidak wasilah blokir Paya!”
“Trus, kenapa lain dapat dihubungi?”
“ Sebelum aku memencilkan tanah kelahiran ku. bapak mengeluarkan perjanjian tegas. Itu pun secara tertekan aku harus menjawabnya. Aku teringat, tepat malam jum’at. Hp nan menjadi milik ku ditukar. Whatsap ku di sadap langsung oleh buya. Aku bukan luang, bagaimana cara menghubungi mu. instagram yang lama tidak digunakan lagi. bapak yang takhlik intragram baru. Lebih parahnya pun. sepupu ku mata-matanya bapak. Aku sudah tidak bisa lagi menghubungi mu. Semuanya seumpama sengkeran lepas.
“Kamu bablas begitu saja, karena tertekan dengan ulah bapak.” Tanya ku
“Ya.”
“Hmmm.” Rawa mengaguk-ngguk kepala
“
Nomor tiga. Kenapa kamu mengirim sepucuk arsip, setelah beberapa bulan kamu meninggalkan?”
“Aku tidak pernah menulis surat!” Jawab Yana polos.
“Ini, masih aku simpan. Selama kamu menyingkir.”
Yana berganti ke sisi plano. Kamu mengenal garitan itu. wajahnya sedikit pucat, pasca- melihat sepatah kata tercoret di plano asli.
“ Cari wanita lain.”
isi kertas.
“Tak goresan ku itu!” ujar Yana
“Trus, mungkin yang menggambar?”
“Kiai.”
“ Hmmm.” Rawa mengangguk pemimpin,sehabis mendengar cerita Yana sesungguhnya.
***
Hari kamis pagi, pukul panca seperempat, tepat sehabis dua musim ketemu sekufu Yana sik
Gadis Jepun
selepas hampir catur tahun sudah lalu lain ada kabar setolok sekali. Aku singgah di rumah Om Dahrum. Sejumlah hari yang lalu, kamu sudah berpetaruh bahwa ada temanya yang ingin dibutkan PTK selain dia. Jadinya, setelah aku masuk, ternyata bapaknya Yana cak semau di sana.
Aku lain suntuk pikir, kalau Paman Dahrum bersahabat sama bapaknya Yana. Ingin ku turut, sudak terserah turunan yang tidak suka sama ku. seperti itu sebaliknya,tidak masuk. Sudah aku ki berjebah di depan rumahnya. “ Pandau.” panggil Pakcik Dahrum. Akhirnya aku timbrung, muka nan tenang, cerah dan benar. Sesudah aku duduk, dekat Om Dahrum. Sonder pangkat lebar. Pakcik Dahrum mengkhususkan suara lagi.
“Ini keponakan ku, nan aku ceritakan beberapa hari nan lalu.” ucap Om Dahrum
“Hmmm.” Ucapa pak Dahlan seiring menatap wajahnya Rawa. Makhluk yang dia tidak sukai.
“ Om, jadi dibuatkan PTK?” Pertanyaan ku.
“Ya, makara anak ku. tinggal satu minggu kita kumpulkan. Ini padanan Paman yang cak hendak dibuatkan PTK itu. Yang mutakadim aku ceritakan bilang masa yang lalu.”
“Ya,” melirik kurang wajahnya bapaknya Yana.
“ Takdirnya semacam itu, aku tidak lama-lama habis. Soalnya ada programa teman yang aku hadiri malam ini.”
“ Nanti lalu, cak hendak dibuatkan kopi sama ibunya itu.”
“ Terima hidayah.”
“Wassalamualaikum.”
“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Jawab Mamak Dahrum.
Hari Jum’at malam, sepanjang lilin batik jum’at. Bapaknya Yana duduk di kursi teras. Secangkir manuskrip sudah disuguhkan oleh sang cem-ceman, mentah dua bisa jadi dia menenggak.
“ Ternyata selama ini aku keseleo menilainya. Mendalam keseleo.”
“ Dia keponakan ku sampul Dahlan, sira anak yang protokoler. Sekarang sedang proses kuliah lagi. Dia ingin berburu cita-citanya, ingin mengajar anak kampus juga” Kelongsong Dahlan mengingat kisah kelongsong Dahrum akan halnya Rawa.
“ Besok aku mencarinya, dan mintak magfirah.
Astagfirullah, telah salah membiji anak adam.” ucap privat lever.”
***
Trik sinar matahari itu membuat wajah kelongsong Dahlan kuning lansat itu menjadi pucat lesi. Kamu berdiri erat lesung sambil memandang wajahnya Rawa. penilaianya terhadap Rawa, membuat beliau bersalah besar.
Hasilnya, tanpa menunggu hari panjang. Dia menemui Rawa di tempat kerja, sesudah mendapatkan informasi kancah Rawa bekerja dari pak Dahrum.
“Rawa, aku kesini ingin mintak
absolusi.” Suara melelapkan, lemas.
“ Perjalan menjalin hadiah, bersama adik-Mu. Tak seindah nan ia inginkan, karena itu ragam ku.”
Bungkusan Dahlan menyingkirkan sesungguhnya, begitu masif. Setelah beliau mengetahui kali Rawa sebenarnya. Sejauh ini engkau mengejar khuluk yang akan menjadi suami anaknya ada di Rawa. Saja, karena ambisi terlalu tinggi menilai, kaprikornus terpelest menuju kesalahan.
“ Aku tahu, Yana sudah membualkan semuanya.” ucap, lemah.
“Berguna ia sudah ketemu sebabat Yana.” Ucap intern lever, seiring menjeling wajahnya Paya.
“ Memang, sebongkah awak ini terlalu banyak menilai aku itu kotor di indra penglihatan orang-anak adam. Aku menyadari sedalam-dalam, karena aku telah bersisa banyak bersalah. Aku bersalah, mulai keluar dari perut ibu ku. Aku telah bersalah! Karena aku menyakiti sekucur tubuhnya.
Buntelan Dahlan melirik wajahnya Rawa, kedua kalinya.
“ Setelah aku keluar dari rahimnya. Aku seperti orang Belanda, keinginan ku selalu ingin dituruti. Kalau tidak masin lidah aku akan berontak. Pantas hamba allah memonten aku itu kotor. Karena aku bersisa banyak bersalah.”
“Sudah, masa ini langit dan mayapada menjadi syahid atas supah ku. bahwa Yana akan menjadi milik-Mu, momongan ku.” ucap pak Dahlan.
Rawa, melirik tampang pak Dahlan, setelah mendengar sumpah yang bukan pernah dia sangka-sangkil akan keluar. Anda pun melajutkan, untuk lebih menyakinkan.
“ Akrab empat tahun jiwa ini rapuh. Kian-lebih setelah menerima sepucuk piagam membuat dadak
sesak. Pangkal kiai tahu sesungguhnya barang apa yang diinginkan maka itu atma ku.”
“Aku teringat, pesan
almarhum
kake ku. hingga kedua ayah bunda ku juga. Dia ingat pesan itu, sampai sekarang. Pesanya.
“ Rawa, ini wanti-wanti kakek. Tulat takdirnya kamu menikah, cari wanita nan mernama Yana.”
Akhirnya selepas besar, sampai saat ini ini! pesan
almarhum
kakek dan orang tua ku. taat aku ingat.
Kemasan Dahlan, hanya bungkam mendengar cerita Rawa yang sesungguhnya.
“Filosopi apa yang ada di benyot segel itu. akan menjadi pertanyaan raksasa, untuk mendapatkan jawabanya. Kesudahannya, aku temukan, ternyata
almarhum
dan kedua ayah bunda ku mencari melalui
Uriga
yang berjudul “
perincian nama” isinya diambil dalam alqur’an. Di dalam alqur’an cak semau huruf
lengang
dan huruf
hidup.”
Aku baca, melubangi makna apa yang tersembunyi.
Ra = 10 Sin= 10 Lam= 4 Alip = 7 Na= 2. Cak semau pula Keteranganya: abjad yang tak disebut otomatis abjad mati.
Aku pula semakin menggali, mencari kenur merahnya. Meskipun ini sebuah sayareat. Karena kita ada bersendikan syareat. Ucap Paya, seiring mengerling wajahnya cangkang Dahlan, bisa jadi ini dia mengusap wajah basahnya.
Di perot kertas nan sudah lalu aku baca. Ada sebuah warta nan ampuh penjumlahan, penyunatan dan balasannya, nan dimana?
Sisa 1 jatuh begitu juga air sumur. Sempuras 4 runtuh seperti bulan purnama. Sisa 3 drop antap suka. Pungkur 5 turun begitu juga rahayu. Terakhir feses 2 merosot seperti pari terbakar api.
Embaran: jumlah dua keunggulan dikurangi 7 akan menemukan kesudahannya.
Akhirnya, tanpa mengenal sagu belanda malam, ingin menemukan lembar meranya. Aku catat jenama adik ku bernama Yana dan Rawa.
“ Yana =
Y berarti leter tenang. Sedangkan A huruf arwah= 7. Falak huruf atma = 2. Tujuh tambah dua setolok dengan 9.
Keterangan: Berarti ‘ Yana’ jumlah huruf hidupnya sama dengan sembilan.
Selanjutnya.
“ Rawa = R berarti huruf hidup = 10. A huruf hidup = 7 . W huruf lengang. jadi, dasa tambah tujuh setara dengan 17. Aku gali juga, buat menemukan hasil terakhinya. Jumlah abjad hidupnya Rawa sama dengan 17 ditanbah fonem hidupnya Yana sama dengan sembilan. 17+ 9 =26. Lebih lanjut aku ikuti rumus nan di atas. 26 – 7= 19. Hasil pertama aku temukan. Belum suka-suka di internal pesiaranUriga
tersebut. juga aku jumlahkan, 19 – 7= 12. Masih belum aku temukan. hasilnya, sesuai dengan keterang
Uriga. Pula aku kurangi, 12 – 7= 5. Karenanya menemukan benang merahnya. Yana dan Rawa kalau satu tarup akan kehidupanya seperti rahayu sesuai kabar di
Uriga
tersebut.
“ Nyawa Rahayu itu sebagaimana bagaiman?” Cak bertanya pak Dahlan. plonco siapa dia mengeluarkan suara, setelah hampir setengah jam berdiam bisu.
“ Kerumahtanggaan mualamat
Uriga
itu, nan sudah aku baca semuanya. Rahayu itu n kepunyaan semangat sepasang suami gula-gula yang selalu setia. Artinya, suka-suka atau tiada komisi, bahkan segala nan anda ingikan, kemudian belum terpenuhi maka akan menghadapinya dengan sabar. Enggak suka-suka bara api di n domestik atap kondominium. Tapi aku ingat, itu sebuah syareat. Sahaja Almalik nan senggang segalanya nyawa hamba-hambanya serta semua isi langit dan bumi.
“Setiap kesempatan yang kita jalani bersama terasa indah dan berarti, bisa dikatakan seperti serangkai permata di kelingking jari yang lampau berharga.
Itulah sebabnya aku menginginkanya. Menjadi pendamping semangat ku.” ucap lagi Pandau.
“Aku meraih pendidikan paling-paling. demi siapa, jika enggak demi dia pun suatu detik tulat.!
“Sudah aku bukan cak hendak membahas terlalu panjang lebar. Sekarang aku sudah tahu tentang diri-Mu anak asuh ku. pintu terbuka cak bagi mu. Adik mu ada dirumah kini. habis bilang wulan dia keluar kota sekali lagi. Jadi, pron bila kamu kerumah?”
Pandau melirik wajahnya pak Dahlan.
“Terpangkal kamu datang nanti sore. Temui adik-Mu!”
***
“Bukan pernah terbayangkan, bahkan lain pernah terlintas di benakku bahwa aku akan seperti ini pula bersama-Mu sik Dayang Jepun.” Ujar Rawa.
“Sebuah ujian Merpati Tungal.” Jawab Yana, senyum tipis mencerling wajahnya Rawa.
Pak Dahlan berganti durja mereka empat mata. Selama ini, kamu nan memiliki ulah atas kekompakan mereka, hampir empat musim segumpal hati mereka tergores luka dalam.
“Rawa, boleh kiai bertanya?” ujar pak Dahlan,
“Silahkan pangeran,” jawab Rawa,
“Tadi, aku dengar dia pagil adik-Mu Gadis Jepun. Apa maksudnya, kenapa memanggilnya dengan nama itu?”
Yana menatap datar paras bapknya, lanjut dia melirik wajahnya Pandau.
“Ozon, ya. Kita n kepunyaan julukan etiket. Aku memanggil adik ku Kuntum Jepun, karena setiap ketemu selalu di bahwa tanaman Jepun ini. begitu pula dengan adik ku Yana. Dia memangil ku Merpati Spesifik , karena aku mencarinya.
“Aduh terserah-terserah saja momongan muda.” Ucap privat hati, senyum tipis. Yunior kelihatannya ini dia senyum di depan Rawa dan Yana.
“ Kau siuman taki yang dulu?” ucap Pandau.
“Ya, aku ingat.” Jawab Yana
“ Apa.?”
“ kita akan selesaikan tugas buncit dulu. Baru kita melangkah kearah yang itu.”
“Jadi, takdirnya anda pergi lagi. Aku tersentuh perasaan pun dong” kata Pandau
“Hmmm”
“ Ya sudah, selesaikan tugas terakhirmu adv amat. Aku lagi akan selesaikan tugas terakhir ku.”
Tidak semua yang dibakar api akan hangus menjadi serbuk,
Batu merah sengaja dibakar supaya semakin berkanjang
Begitu juga!
Dengan spirit kita, lain semua nan menimpa kita akan menggagalkan.
Kadang sebenarnya kita diuji kaprikornus lebih langgeng.
Gadis Jepun
***
Source: https://sman1terara.sch.id/opini-guru/cerpen-gadis-jepun
Posted by: bljar.com