Bentuk Perjuangan Jong Islamieten Bond

Maka dari ituHASANUL RIZQA

Awal abad ke-20 menelanjangi episode baru dalam sejarah nasional. Peranan kaum muda lebih menonjol. Sejumlah musim jelang Sumpah Pemuda, Jong Islamieten Bond terbentuk dengan hidup persatuan di atas perbedaan.

Rayapan Pemuda Indonesia 1900-1930

Sreg saat memasuki abad ke-20, perkelahian Indonesia mengawali bagian baru. Maraknya penampikan bersenjata tiba tergantikan kemunculan pergerakan-pergerakan.

Intern rangka mengekspresikan kurnia sosial dan kebijakan, lahirlah beberapa organisasi yang dibentuk kalangan pribumi. Umpama contoh, Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905), Budi Utomo (20 Mei 1908), Indische Vereeniging (22 Desember 1908), Muhammadiyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), serta Organisasi politik Nasional Indonesia (4 Juli 1927).

Pertukaran rona sambutan itu turut dipicu pihak penjajah sendiri. Belanda berangkat memberlakukan Ketatanegaraan Bermartabat sejak Alexander WF Idenburg menjadi menteri daerah jajahan pada 1902. Strategi Bersusila didasari suatu pemikiran, Belanda memiliki utang tanggung jawab moral (ereschuld) terhadap bangsa jajahannya. Sebab, berbagai kemakmuran yang dinikmati Negeri Kapling Kurang bermula pecah pemerasan hasil marcapada dan tenaga rakyat Hindia Belanda atau Indonesia.

Politik Etis sesungguhnya ialah sebuah titipan kolonial. Cikal bakalnya boleh ditelusuri sejak Christiaan Snouck Hurgronje menjadi superior pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Profesor Universitas Leiden yang fasih berbahasa Arab dan Melayu itu menghendaki koeksistensi antara Belanda dan Hindia di masa depan.

Untuk itu, tuan segel alias Haji Abdul Ghaffar itu berharap, pribumi —utamanya Muslimin— Hindia Belanda mampu beradaptasi dengan ide-ide yunior dari tradisi liberalisme Eropa Barat abad ke-19.

Caranya tentu melewati pendidikan. Jumlah rakyat Hindia Belanda yang menuntut ganti rugi sekolah-sekolah Barat pun meningkat. Jajat Burhanudin privat
Islam dalam Rotasi Album Indonesia
(2017) mengklarifikasi, kaum pribumi terdidik itu melonjak dari hanya 269.940 bani adam pada 1900 menjadi 1,7 juta puas 1930-an.

Jumlahnya tinggal boncel, tak kian berusul tiga uang lelah, bila dibandingkan dengan keseluruhan pemukim. Hal itu pun menandakan Belanda memang sedari awal tak berkomitmen lakukan memeratakan pendidikan di area jajahan.

Namun, golongan yang sedikit secara besaran itu kemudian menjadi sangat berwibawa. Mereka tampil andai bangsawan mentah bukan karena pembawaan atau baka, melainkan pemikiran dan tindakan. Merekalah minoritas kreatif nan akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.

Merekalah minoritas berbenda nan akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.

Nyaris seluruh gembong organisasi-organisasi pembela negara pada tadinya abad ke-20 merupakan momongan-anak remaja.
Indische Vereeniging, misalnya, didirikan para mahasiswa Indonesia di Belanda. Awalnya doang berwatak sosial, tetapi sejak penghabisan Perang Dunia I organisasi tersebut meneguhkan sikap garis haluan antikolonialisme. Namanya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.

Pemimpinnya adalah seorang pemuda 24 tahun, Mohammad Hatta, yang ketika itu menempuh studi ekonomi di Rotterdam. Sukarno juga masih berusia belia, 26 tahun, tatkala mendirikan Puak Nasional Indonesia (PNI) bersama dengan kawan-kawannya dari
Algemeene Studie-club
Bandung.

Patriotisme teruna

Dardiri Husni n domestik tesisnya cak bagi McGill University, “Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942” (1998) menjelaskan, perkembangan manuver intelektual taruna pribumi Indonesia puas awal abad ke-20 terjadi dalam dua jenjang.

Pertama, pengadopsian identitas etnis. Ini berlangsung antara tahun 1908 dan 1925. Fase tersebut ditandai dengan kemunculan Fiil Utomo, yang didirikan dua mahasiswa Sekolah Dukun Jawa atau STOVIA di Batavia (Jakarta), Raden Soetomo dan Gunawan Mangun Kusumo.

Berbeda dengan Sarekat Selam yang sejak awal berdirinya diarahkan kepada rakyat Indonesia dari berbagai rupa kaki nasion, Budi Utomo semata-netra merupakan himpunan cak bagi Jawa. Pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural sahaja menghirup perhatian penduduk Jawa Paruh. Itu pun terbatas lega kalangan perjaka terpelajar dan kaum bangsawan.

Husni mengatakan, setakat Juli 1908 keanggotaan Fiil Utomo mencangam 650 manusia. Cabang-cabangnya terbimbing di sejumlah kota ki akbar di Jawa. Akan saja, pengaruh kaum muda terasuh di organisasi tersebut seiring periode kian memudar.

Sementara, hegemoni galengan priyayi tambahan pula semakin terasa. Situasi itu menimbulkan ketidakpuasan di gudi petatar Jawa. Sebab, Fiil Utomo menumpu menjadi panggung bagi kabilah tua, yakni priyayi, sedangkan suku bangsa mudanya tersisihkan. Mereka yang tidak puas dengan kondisi tersebut lantas mendirikan organisasi baru, Tri Koro Dharmo, lega 1915.

Dalam tiga perian berikutnya, perhimpunan itu mendirikan cagak di bermacam rupa daerah Jawa. Sejajar begitu juga Budi Utomo, kehadiran Tri Koro Dharmo enggak terlalu menimbulkan minat para pelajar non-Jawa, misal Sunda atau Bali.

Sejarawan Prof Ahmad Mansur Suryanegara memandang, Tri Koro Dharmo lain ubahnya Fiil Utomo. Menurut penulis
Jago merah Sejarah
(2009) itu, Fiil Utomo mengusung reaktif Jawa Raya serta menunda pelaksanaan visi persatuan Indonesia. Ide tentang cita-cita persatuan Indonesia, pembukaan dia, malar-malar terlahir dari Badan legislatif Jong Islamieten Bond pada 1925.

Suryanegara mengatakan, Soetomo dan kawan-kawan didukung pemerintah kolonial Belanda karena mau meredupkan rayapan keislaman, khususnya Djamiat Choir. Organisasi yang berfokus puas marcapada pendidikan itu didirikan kelompok
sayyid
Arab di Jakarta pada 17 Juli 1905—tiga waktu sebelum Kepribadian Utomo. Bahkan, jelasnya, label Budi Utomo terinspirasi berusul
Jam’iyah al-Khair, ‘jamaah yang baik’.

“Jika diterjemahkan ke intern bahasa Jawa (‘jamaah yang baik’) menjadi Boedi Oetomo. Djamiat Choir bertambah mengutamakan amal imani menurut visiun Selam, Boedi Oetomo juga mengutamakan laku penting menurut ajaran Agama Jawa,” tulis guru besar histori Institut Padjajaran itu.

Tri Koro Dharmo mengadakan kongres pertamanya di Spesifik, Jawa Tengah, pada 1918. Sejak itu, namanya berubah menjadi Jong Java. Artinya, ‘Pemuda Jawa’. Perubahan nama tersebut merupakan strategi untuk menimbulkan citra plonco yang makin inklusif. Perjaka pribumi non-Jawa kembali mulai tertarik bakal mengimak perkumpulan itu.

Husni menjelaskan, tiap primadona anggota Jong Java harus berjanji lakukan tidak terjun intern aktivitas strategi barang apa pun. Fokus diarahkan pada sunyi pendidikan dan budaya (Jawa) doang. Sependapat Budi Utomo, Jong Java juga mengimpikan terciptanya Jawa Raya, suatu kesatuan yang mencengap Pulau Jawa, Madura, dan Bali.

Kesanggupan Jong Java menimbulkan antusiasme di dok terpelajar pribumi. Maka berdirilah pelbagai organisasi serupa di penjuru Nusantara. Sebut sahaja, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun Jawa Barat (1919), dan Kaum Betawi (1923). Saban terikat pada identitas kedaerahannya. Inilah kecenderungan nan mendominasi usaha intelektual muda Indonesia hingga 1925.

Jong Islamieten Bond

Menurut Husni, tahapan kedua dari genesis aksi perjaka terbimbing di Persil Air awal abad ke-20 ditandai dengan terbentuknya Jong Islamieten Bond (Layar). Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) nan ada sebelumnya, Cucur tidak dikhususkan bakal identitas etnis tertentu.

Sifatnya plural karena mengamini secara terbuka kewargaan dari beraneka macam tungkai bangsa Indonesia. Dari sanalah, kesadaran nasionalisme tumbuh gemuk dan menguat di antara atom bimbingan, para anggota dan kader perhimpunan tersebut.

Sejarah Jong Islamieten Bond bermula bermula kobaran dalam Jong Java sejak senat waktu 1924. Ketua Jong Java saat itu, Raden Sjamsuridjal, mengusulkan kepada hadirin untuk mengagendakan kursus mengenai Islam sebagai salah suatu program tahun-tahun mendatang.

Alasannya, Selam yakni agama yang dipeluk umumnya pribumi. Perumpamaan calon pemimpin di tengah masyarakat, menurut Sjamsuridjal, para anggota Jong Java dipandang perlu untuk mengenal lebih damping nubuat agama tersebut. Tambahan pula, plong faktanya sepan banyak di antara mereka yang beragama Islam.

Dia pun menghendaki kursus Islam tersebut tak wajib bagi seluruh anggota Jong Java. Siapa pula yang terjerumus, dipersilakan hadir. Cuma, proposalnya kemudian ditolak mayoritas petatar senat. Hal itu cukup aneh. Sebab, sejumlah les spiritual-keimanan telah diagendakan di Jong Java, seperti kajian adapun Kristen dan Teosofi. Mengapa giliran Selam ditolak?

Senat itu dihadiri sejumlah tamu undangan, teragendakan Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan. Para tokoh senior itu boleh merasakan kehampaan sang ketua Jong Java.

Pada Desember 1924, ketiganya bersua dengan Sjamsuridjal dan kawan-kawan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Perjumpaan itu menghasilkan komitmen untuk membentuk satu organisasi kepemudaan baru nan berasaskan Islam. Inilah cikal bakal Layar.

Sreg Januari 1925, Sjamsuridjal memutuskan bagi meletakkan jabatan ketua Jong Java. Sesudah itu, khalayak yang kelak menjadi pengampu kota Jakarta 1951-1953 tersebut terus menggalang dukungan demi takhlik perhimpunan baru. Alhasil, pada 1 Maret 1925 Cucur berdiri resmi di Jakarta.

Husni mengatakan, JIB terbentuk dengan semangat suku bangsa muda Muslim terbimbing yang menengah meneguhkan jati diri di tengah hegemoni dan kontrol kolonialisme Barat. Tak ada tendensi sebuah partai strategi.

Di waktu pertama pembentukannya, organisasi ini berhasil merekrut 250 individu penyanjung. Sekolah tinggi itu tidak mewatasi keanggotaan pada tungkai etnis tertentu, melainkan hanya puas rentang usia —14 hingga 30 tahun. Prediksi dasarnya pun tidak mengekang. Misalnya, anggota boleh beraktivitas di ranah politik, asalkan tidak mengapalkan stempel Cucur.

Baca Selengkapnya’;

Source: https://www.republika.id/posts/11321/jejak-perjuangan-jong-islamieten-bond

Posted by: bljar.com